Sunday, January 20, 2013

Selamat Datang di Baduy

Read more »

Kehidupan Khas Suku Baduy

Read more »

SEBA BADUY AGAR TERUS DIPERTAHANKAN


KOTA SERANG – Sekitar 1.482 orang yang merupakan warga Baduy Luar dan Baduy Dalam, Sabtu (9/4) malam, mengikuti seba Baduy yang menurut adat Baduy, seba merupakan bentuk silaturahmi sekaligus laporan tahunan atas hasil bumi dalam kurun waktu satu tahun dan biasanya para Jaro juga melaporkan situasi perkembangan kondisi terakhir di wilayah Baduy dan harapan-harapan warga Baduy kepada pemerintah daerah setempat baik di Kab.Lebak maupun di Pemerintah Provinsi Banten atas perlindungan adat, pengakuan dalam hukum, kelestarian lingkungan, pengakuan batas wilayah untuk menghindari pengakuan tanah oleh orang-orang yang berada di luar adat Baduy dan pesan untuk menjaga persatuan dan kesatuan dari tindakan kekerasan yang memicu konflik.
Sabtu malam tadi, kondisi seba Baduy agak sedikit berbeda, kali ini seba digelar di halam Pendopo Gubernur Banten karena beberapa gedung sedang mengalami pembangunan.
Hadir langsung memimpin acara dalam seba Baduy Gubernur Banten-Hj.Ratu Atut Chosiyah, didampingi Wakil Gubernur Banten-HM.Masduki, Sekretaris Daerah Provinsi Banten-H.Muhadi dan para Kepala SKPD di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten, Muspida Banten dan beberapa Kepala SKPD dari Kab.Lebak.
Gubernur Banten menyatakan sebanyak 1.482 orang warga Baduy yang mengikuti seba yang biasanya dilaksanakan setahun satu kali. Warga Baduy luar biasa tertibnya dalam mendengarkan sambutan dari Kepala Daerah.
“Dari sekian banyak warga baduy yang hadir mengikuti seba tidak ada satu pun dari mereka yang bersuara/bicara semuanya mendengarkan apa yang disampaikan, inilah yang harus kita contoh oleh bapak dan ibu semua” ujar Gubernur.
Warga masyarakat Baduy merupakan warga masyarakat tradisional tetapi memiliki disiplin yang luar biasa tingginya, kepatuhan terhadap adat dan budaya yang dimilikinya.
Gubernur Banten yang mereka sebut Ibu Gede menghaturkan upcapan terima kasih atas silaturahmi atau seba yang dilaksanakan tahun ini. Gubernur berhadap agar seba terus dipertahankan kerena ini merupakan hal yang positif dan ini merupakan salah satu budaya yang di provinsi lain tidak ada istilah seba.
“Banten merupakan daerah yang kaya akan khasanah budaya berbagai komunitas masyarakat, masyarakat Baduy ini terkenal tidak hanya di Provinsi Banten, tingkat nasional tetapi juga terkenal di tingkat internasional. Semoga kegiatan ini bisa memberikan informasi bermanfaat tentang keadaan Banten yang memiliki salah satu potensi yaitu potensi pariwisata yaitu Kampung Baduy yang diminati dan dikunjungi oleh wisatawan baik dari dalam negeri maupun oleh luar negeri” tegas Gubernur.
Dalam kesempatan tersebut Gubernur (Ibu Gede) menyerahkan bingkisan yang berisi ikan asin, kopi, terasi dan garam yang merupakan permintaan masyarakat Baduy sendiri.
Dalam sambutanya Jaro Daenah menyatakan inti dari kedatangan warga Baduy ini adalah bentuk silaturahmi. “Setiap setahun sekali kami diwajibkan silaturahmi yang telah dilakukan secara turun temurun dan dalam silaturahmi ini kami akan memberikan pesan yaitu agar masyarakat Provinsi Banten bersatu tidak ada kekerasan karena menurut orang Baduy kekerasan itu tidak menguntungkan bagi kedua belah pihak. Banten boleh maju tetapi maju dalam kebaikan dan kedamaian, karena kami (Baduy) cinta damai” ujar Jaro Daenah dalam ucapan bahasa Sunda wiwitan.
Selain itu masyarakat Provinsi Banten diminta warga Baduy agar bisa menjaga dan tidak merusak Gunung-gunung dan Hutan di Ujung Kulon karena bisa menyebabkan pemanasan global atau juga bisa menimbulkan peristiwa alam lain yang tidak dapat diprediksi sebelumnya seperti gempa bumi, angin topan dan puting beliung.
“Kalau tidak ada pohon-pohon yang dilestarikan oleh masyarakat kami (Baduy) khawatir Banten akan mengalami bencana” ujar Jaro Saidi menambahkan
Read more »

Hubungan Sosial Masyarakat Baduy

Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Kanekes Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Read more »

Sejarah Suku Baduy

Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto.

Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo 
Read more »

Bahasa Baduy Banten

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis.
Read more »

Kelompok masyarakat Baduy


Orang Kanekes masih memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001).
Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.
Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.
Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
Menikah dengan anggota Kanekes Luar
Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar
Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar. Mereka menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam.
Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar 
Read more »